Kamis, 04 Desember 2008

Krisis Moral Kah..?

Pada kuliah yang  lalu entah mengapa bergulir diskusi mengenai kecenderungan orang Indonesia melakukan kegiatan tidak terpuji, katakanlah korupsi. Pernah ada sebuah tulisan, bahwa kita semua mempunyai bakat korupsi..tinggal masalah kesempatan saja. Artinya, jika tidak korupsi itu karena tidak ada kesempatan. Yah...sebuah hipotesis yang menyakitkan sekaligus menggugah. Menggugah munculnya pertanyaan lanjutan: benarkah demikian..??

Sebenarnya banyak teori mengenai motif kejahatan. Namun, mungkin kita dapat mendekatinya dari sudut pandang lain. Motif kejahatan dikaitkan dengan faktor religius. Kita, bangsa Indonesia dan bangsa Timur pada umumnya terkenal kental kehidupan beragamanya. Semua agama tentu mengajarkan kebaikan dan mendoktrin bahwa setiap kejahatan pasti akan ada balasannya, ntah sekarang atau nanti. Artinya, ketika seseoarang berpegang pada ajaran agamanya, maka logikanya ia akan senantiasa menebar kebaikan (hak) dan menghindari segala bentuk kejahatan (bathil). Tetapi, kenyataan justru bisa tidak demikian. Penegakan ajaran agama (baca:ibadah) jalan, tetapi kebathilan  juga jalan. Jadi, dimana salahnya? 

Biasanya kesalahan langsung ditimpakan pada tiga kemungkinan berikut. Pertama, agama yang tidak mampu membentengi manusia dari berbuat bathil. Kedua, manusianya yang mengganggap bahwa tidak ada konsekwensi apapun dari setiap tindakan yang dilakukan seperti yang di-dogma-kan oleh agama. Ketiga, intensitas dakwah kurang masuk dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Memperdebatkan ketiga kemungkinan tersebut tentu tidak ada habisnya. Ketiganya punya dasar argumentasi dan bukti-bukti yang saling menguatkan. Kaum sekuler tentu lebih senang pada pembenaran yang pertama, urusan dunia adalah urusan manusia dengan manusia, tidak ada hubungannya dengan agama. Sehingga, tidak ada pengaruh agama terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan. Agama hanya mempengaruhi hubungan manusia dengan tuhannya, sedangkan hubungan manusia dengan manusia biarkan manusia sendiri yang mengaturnya. 

Kemungkinan kedua mungkin lebih banyak dipercaya oleh kaum materialis. Mereka tentu berpandangan bahwa tidak ada konsekwensi yang berupa pahala dan dosa. Apapun dapat dilakukan sepanjang tidak melanggar etika, norma, hukum, moral dan semua komitmen hasil kesepakatan antar kelompok masyarakat. Kalaupun dilanggar, maka balasannya juga berupa hukuman yang dibuat melalui kesepakatan di kelompok masyarakat itu sendiri. Sehingga untuk mengurangi kejahatan, maka harus dibuat berbagai produk hukum sebanyak mungkin untuk meminimalisir celah terjadinya kejahatan

Kemungkinan ketiga jelas diyakini oleh kaum agamis. Mereka berpandangan bahwa fenomena kejahatan dan korupsi dapat diatasi dengan mengintensifkan peran dan fungsi dakwah dan pembelajaran agama. Tokoh agama dijadikan ujung tombak untuk membina kesholehan masyarakat. Pada tingkat kesholehan tertentu dipercaya bahwa kebathilan dapat diminimalisir. Sehingga, untuk menekan kejahatan/korupsi maka pendidikan agama harus diintensifkan.

Ketiga pemahaman diatas menurut saya hanya akan memberikan solusi yang parsial. Kalau mau menengok sejarah, maka sebenarnya Nabi Muhammad SAW sudah mencontohkan bagaimana membangun suatu suatu bangsa yang liar dan tidak beradab menjadi bangsa dengan peradaban paling maju dan besar serta menjadi kiblat peradaban dunia selama lebih dari 7 abad. Suatu masyarakat yang madani; adil, makmur dan sejahtera; gemah ripah loh jinawi; dimana setiap orang merasa tidak perlu bahkan malu untuk melakukan kejahatan. 

Keberhasilan ini tidak hanya karena tertibnya tatalaksana kehidupan kemasyarakatan di jaman tersebut. Tidak juga hanya karena ketaatan dan keteguhan dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Tidak juga hanya karena kemajuan ekonomi dan ilmu pengetahuan-teknologi. Tetapi karena mengintegrasikan kehidupan sosial kemasyarakatan sebagaimana kaidah yang sudah diberikan Sang Pemilik manusia, sehingga manusia mampu menjadi khalifah di muka bumi  (baca: pembawa manfaat untuk seluruh alam).   

Ada tiga elemen masyarakat yang berperan dalam membangun masyarakat madani, Yaitu ummaroh (pemimpin), ulama (pendidik), dan penegak hukum. Dalam interaksi elemen ini, tidak ada prinsip dari manusia, oleh manusia, untuk manusia. Yang ada adalah prinsip : dari Allah SWT, oleh Khalifah, dan untuk umat.  Segala aturan dan hukum dikembalikan kepada Al-Qur'an dan Hadist. Ketiga elemen hanya punya satu visi: mengatur kehidupan sosial kemayarakatan sebagaimana fitrah manusia yang digariskan oleh Allah SWT. Bukan atas dasar nafsu kekuasaan, harta, atau keluarga. 
 
Pemimpin harus sejalan dengan ulama. demikian juga dengan penegak hukum. Tentu Ulama pun juga harus mengerti masalah sosial kemasyarakatan dan hukum. Sehingga setiap pemimpin dan penegak hukum harus menguasai ilmu agama. Demikian pula ulama, harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.  Hal ini hanya bisa terjadi jika tidak ada dikotomi pembelajaran antara ilmu agama dan ilmu keduniaan. Tidak boleh ada mutually-exlusive diantara keduanya, sehingga Pakar ilmu agama tidak bisa menjadi pakar ilmu dunia, dan pakar ilmu dunia otomatis bukan pakar ilmu agama.  

Bila kembali ke jaman kejayaan Islam, dapat dilihat bahwa para sarjana atau pakar ilmu pengetahuan bisa dipastikan juga merupakan pakar Hadist, ahli tafsir, penghapal Al-Qur'an, imam, dan sebagainya. Pemimpin umat juga sekaligus pemimpin agama. Namun jika kita lihat sekarang, ulama hanya mengerti ilmu agama, sedangkan pemimpin dan penegak hukum hanya mengerti ilmu dunia. Bila demikian, bagaimana mungkin tatalaksana kehidupan sosial kemayarakatan dapat dibangun demi kemasylahatan seluruh umat manusia?  Sementara segala kaidah dan aturan untuk keselamatan manusia hanya dimengerti dan dipahami oleh para ulama. 

Berdasarkan uraian ini, paling tidak marilah mulai kita sadari bahwa untuk mengangkat bangsa ini dari keterpurukan tidak cukup hanya dari meningkatkan kesholehan individu. Kesholehan individu sudah terbukti tidak menjamin kesholehan sosial. Yang utama adalah bagaimana menyatukan visi para pemimpin, ulama, dan penegak hukum untuk mengembalikan fitrah manusia seperti yang digariskan oleh Allah SWT. Kemudian, tidak lagi men-dikotomi-kan ilmu agam dan ilmu dunia. Sistem pendidikan harus didesain sedemikian rupa sehingga sekolah madrasah atau pesantren juga kuat di ilmu pengetahuan dan teknologi dan memungkinkan lulusannya untuk eksis di bidang-bidang tersebut. Sekolah umum juga kuat di ilmu agama sehingga memungkinkan lulusannya untuk eksis di jalur dakwah.

Waallahu'alam.. 


 
 

 

Selasa, 13 Mei 2008

SMS Santet : Hipnotis melalui HP?

Beberapa hari terakhir ini, masyarakat kita dihebohkan oleh berita adanya SMS santet. Mulai dari sekedar kabar burung hingga berupa kesaksian langsung dari korbannya. Fenomena apakah ini? Benarkah teknologi seluler dan handphone (HP) dapat "dikawinkan" dengan ilmu supranatural atau metafisika? Benarkah hal tersebut ada kaitannya dengan gelombang Infra-Merah yang dapat diterima oleh handphone berfasilitas Infrared? Dalam tulisan ini saya mencoba mendeduksi kemungkinan bisa-tidaknya menyantet atau menghipnotis melalui SMS atau dengan perantara HP. Sekali lagi, saya hanya mencoba mencari kemungkinan bisa-tidaknya, bukan berupaya "membenarkan" atau "menyangkal" suatu fenomena. Karena suatu fenomena jelas akan menjadi benar secara pragmatis apabila sebagian masyarakat ada yang meyakini atau mengalami fenomena tersebut.

Gelombang infra-merah merupakan spektrum elektromagnetik yang berada diantara gelombang pendek (Microwave) dan cahaya tampak (Visible Light). Dengan kata lain gelombang infra-merah memiliki panjang gelombang lebih panjang dari cahaya tampak dan lebih pendek dari Gelombang Pendek. Karena berada diluar cahaya tampak (lebih panjang), maka gelombang infra-merah tidak dapat terlihat oleh mata manusia. Gelombang infra-merah yang terdekat dengan cahaya tampak (spektrum warna merah) disebut Near Infrared, sedangkan gelombang infra-merah yang terdekat dengan Gelombang Pendek disebut Far Infrared. Gelombang Infra-merah jauh dapat kita rasakan sehari-hari berupa radiasi panas. Seperti panas sengatan matahari, panas dari api, dan sebagainya. Termasuk panas yang dipancarkan oleh tubuh mahluk hidup. Sedangkan infra-merah dekat tidak memiliki radiasi panas sama sekali. Gelombang ini dapat kita jumpai sehari-hari dalam alat-alat yang kita miliki. Seperti remote control, HP, dan sebagainya.




Untuk dapat melihat atau merasakan gelombang infra-merah dibutuhkan suatu sensor. Ular adalah contoh yang memiliki sensor penglihatan yang mampu menangkap gelombang infra-merah. Demikian pula teropong malam hari yang biasa digunakan oleh militer. Alat tersebut dilengkapi sensor infra-merah, sehingga dapat menggambarkan imej meskipun dalam kondisi gelap sekalipun. Karena seluruh benda pada dasarnya memancarkan radiasi panas berupa gelombang infra-merah. Bahkan es sekalipun. Berikut adalah tampilan imej yang dibentuk oleh sinar infra-merah.


Manusia memiliki keterbatasan untuk melihat pancaran gelombang infra-merah. Hanya Cahaya tampak yang terlihat oleh mata dari sekian panjang spektrum elektormagnetik (mulai gelombang radio hingga cahaya Gamma). Namun justru dengan keterbatasan tersebut manusia dapat menikmati indahnya warna-warni dunia seisinya. Bayangkan saja bila manusia diberi kelebihan untuk melihat gelombang infra-merah, maka kucing akan terlihat seperti gambar di atas. Apakah tidak menakutkan??

Bagaimana dengan peralatan seperti remote control dan HP? Televisi atau perangkat audio-visual lainnya dilengkapi sensor yang dapat menangkap gelombang infra-merah yang dipancarkan oleh remote control-nya. Infra-merah yang dipancarkan dari remote control membawa data atau intruksi tertentu yang kemudian akan diolah oleh perangkat audio-visual yang menerimanya. Demikian pula dengan HP. Bedanya, pada perangkat audio-visual, transmiter dan receiver gelombang infra-merah senantiasa aktif selama perangkat tersebut hidup. Sementara pada HP, receiver inframerah dapat dihidup-matikan. Default-nya, receiver infra-merah pada HP kebanyakan dalam kondisi non-aktif. Ketika dibutuhkan saja baru dapat diaktifkan oleh pemakai. Selain itu, jarak rambat gelombang infra-merah relatif pendek. Perhatikan dalam prakteknya, menghubungkan dua alat (device) menggunakan infra-merah, misalnya remote dengan televisi atau HP dengan HP, maka kedua alat tersebut tidak boleh terlalu jauh dan tidak boleh ada benda lain yang menjadi penghalanya. Berbeda dengan gelombang panjang lain seperti Gelombang Radio yang jarak rambatnya dapat berkilo-kilo meter dan relatif tidak terbatasi oleh barrier alam maupun buatan manusia (bangunan/gedung).

Seperti disebutkan sebelumnya, dibutuhkan suatu sensor untuk menangkap atau melihat gelombang infra-merah. Manusia jelas hanya dapat merasakan radiasi panas dari gelombang infra-merah pada panjang gelombang tertentu (far infrared), dan tidak dapat melihatnya sama sekali. Panas itu pun hanya dapat dirasakan oleh kulit manusia. Apakah panas dari gelombang infra-merah dapat dirasakan oleh organ-organ dalam tubuh? Katakanlah otak Tentu saja tidak. Karena yang memiliki sensor terhadap panas hanyalah kulit. Sehingga manusia tidak mampu bereaksi terhadap gelombang infra-merah (termasuk data atau intruksi yang dibawanya) selain bereaksi terhadap radiasi panas infra-merah.

Mungkinkah manusia bereaksi terhadap infra-merah yang dipancarkan oleh HP seperti halnya televisi bereaksi terhadap infra-merah yang dipancarkan remote control? Dari uraian diatas, kemugkinan tersebut mustahil dapat terjadi. Hal berikut akan menguatkan argumen saya:

  1. HP mampu memancarkan atau menerima gelombang infra-merah hanya jika : (1) HP tersebut memiliki infrared device dan (2) infrared device pada HP tersebut diaktifkan. Jika dua syarat tersebut tidak terpenehui, maka berharap HP akan menangkap gelombang infra-merah sama seperti berharap mendengarkan radio di HP Nokia 3310.
  2. Sekalipun suatu HP memiliki infrared device dalam kondisi aktif, maka data atau instruksi yang dikirimkan memalui gelombang infra-merah dari transmiter yang tidak diketahui berada dimana bisa dipastikan tidak akan dapat diterima oleh HP tersebut, mengingat sifat jarak rambat gelombang infra-merah seperti disebut diatas.
  3. Katakanlah data atau instruksi yang dikirimkan memalui gelombang infra-merah dari transmiter yang entah dimana tersebut kebetulan diterima oleh HP seseorang, maka data atau instruksi tersebut tidak dapat memerintahkan HP tersebut melakukan sesuatu (misalnya memunculkan pesan atau gambar tertentu) kecuali si pengirimnya tahu betul tipe, merek dan series HP yang akan menerima infra-merah yang dipancarkan-nya. Contoh gampangnya, remote control miliki DVD merk Sony tentu tidak dapat dipakai untuk mengoperasikan DVD merk Samsung.
  4. Katakanlah si pengirim menargetkan pemakai HP seri dan merk tertentu, dan kebetulan gelombang yang dipancarkan tertangkap oleh HP dengan seri dan merk tertentu tersebut. Misalkan saja pengirimnya adalah seoarang ahli metafisika sekaligus telematika dan paham selukbeluk software dan hardware HP (ada gak orang seperti ini?), sehingga dia mampu mengirimkan "mantra-mantra" dalam bentuk gelombang infra-merah dalam radius yang sangat jauh. Kemudian HP tersebut memunculkan tulisan, gambar atau suara seperti yang diinginkan oleh pengirimnya. Sepanjang si pemegang HP tidak tersugesti untuk terhipnotis, maka pesan apapun yang disampaikan oleh pengirim tidak akan direaksi oleh si pemegang HP.

Keempat argumentasi di atas adalah pra-kondisi yang harus terpenuhi untuk memungkinkan proses hipnotis dapat dilakukan melalui teknologi HP dan gelombang Infra-merah.

Kalo anda memiliki HP dengan teknologi Multimedia Messege Service (MMS) atau Video Call, mengirim gambar, tulisan, sekaligus suara bahkan video merupakan hal yang mudah. Nyatanya hingga saat ini tidak ada berita pemakai HP yang terhipnotis atau ter-"guna-guna" melalui MMS atau Video Call. Kenapa? karena kita tidak pernah menggangap (apalagi bersugesti) bahwa teknologi tersebut dapat dipakai untuk menghipnotis atau me-mantra-mantra-i orang lain. Sehingga kalaupun ada saksi-saksi hidup yang mengalami hal ini, mungkin pertanyaannya pertama adalah apakah ia tersugesti untuk terhipnotis?

Waulahuwa'llam

Minggu, 20 April 2008

Pengendalian Diri

Kehidupan di dunia adalah konsekwensi setiap manusia. Sama halnya dengan kematian. Keduanya adalah pasti dan senantiasa berpasangan bagi setiap manusia. Semua orang pasti mengamini hal ini. Yang sering menjadi pertanyaan dan rangsangan daya nalar manusia adalah tujuan hidup dalam setiap kehidupan. Setiap kepala pasti memiliki gagasan yang berbeda-beda dalam memahami tujuan hidupnya. Seorang materialis umumnya berpandangan betapa hidup ini ditujukan guna memenuhi hasrat dan kebutuhan duniawi semata. Sebaliknya, seorang sufi cenderung memandang hidup ini sebagai suatu masa atau kesempatan untuk mempersiapkan kematian yang merupakan gerbang memasuki alam ukhrawi. Spektrum pandangan di antara dua kutub tujuan hidup ini sangatlah luas. Sebagian besar orang mungkin akan lebih bersikap moderat dengan memilih tujuan hidup di spektrum antara ini. Penulis sendiri menyadari bahwa tujuan hidup layaknya sufi terlalu muluk untuk disebutkan, namun jelas pula penulis bukan pengikut paham materialis. Sehingga cukuplah visi dan misi diatas sebagai tujuan hidup yang senantiasa diupayakan untuk dipegang teguh.
Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, sangat disadari perlunya penerapan fungsi Pengendalian Diri (Internal Control) agar setiap langkah dan aktivitas dalam menjalani hidup selalu terarah pada satu tujuan : tidak mengkhianati visi dan misi yang telah ditetapkan. Mengapa perlu pengendaliaan diri? Layaknya perahu yang berlayar tanpa navigasi, mustahil dapat mencapai tujuan ketika terjangan badai dan gelombang sangat berpotensi membelokan dan mengacaukan arah perahu dari tujuan. Pengendalian diri adalah sistim navigasi yang akan mengarahkan hidup kita agar tidak menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan. Kemungkinan menyimpang tentu saja ada karena kita hidup tidak sendiri, banyak pengaruh dan hambatan dari luar diri. Kalaupun terlanjur menyimpang, maka sistem ini akan mengembalikan kita ke arah yang seharusnya. Sehingga meskipun kadangkala atau bahkan sering keluar jalur, namun secara konsisten sistem ini akan mengembalikan kita ke tujuan hidup semula.
Meminjam konsep dalam teori Auditing, disebutkan 5 komponen penting yang harus ada agar fungsi Internal Control dapat berperan dalam menjaga konsistensi dan keberlanjutan pencapaian tujuan hidup. Lima komponen Internal Control dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Lingkungan Pengendalian (Control Environment)
Lingkungan pengendalian adalah fondasi bagi 4 komponen lain berpijak. Lingkungan pengendalian dapat dianalogikan sebagai komitmen pribadi yang berisi kesadaran akan pentingnya pengendalian diri demi mencapai tujuan. Kesadaran ini sama halnya dengan kesadaran yang dimiliki pelaut akan pentingnya sistem navigasi di perahunya. Derajat kesadaran tentu berbeda antara satu orang dengan orang lain. Tinggi rendahnya sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut oleh yang bersangkutan. Nilai tersebut merupakan refleksi dari kematangan dan kecerdasan emosional individu. Nilai yang mempengaruhi antara lain prinsip etika/moral, filosofi dan tujuan hidup, serta kemampuan menarik pelajaran dari kesalahan. Semakin teguh prinsip etika/moral dipegang maka semakin kuat komitmen pribadi melakukan pengendalian diri. Semakin jelas filosofi dan tujuan hidup, semakin kuat pula kesadaran untuk mengendalikan diri. Semakin dalam kemampuan mencari hikmah maka semakin sadar pula akan pentingnya pengendalian diri.

2. Pengukuran Resiko (Risk Assessment)
Fungsi pengendalian diri dapat berjalan efektif apabila kita mengetahui resiko-resiko yang akan dihadapi dalam rangka mencapai tujuan hidup. Resiko ini berupa hambatan atau rintangan yang dapat membelokan atau mematahkan arah tujuan. Dengan mengidentifikasi dan mengukur resiko, maka dapat dirumuskan strategi atau prosedur pengendalian yang paling cocok untuk mengeliminasi hambatan atau rintangan yang membuat tujuan hidup menyimpang. Misalnya, jika ingin mencari istri yang sholehah maka jangan mencari di tempat hiburan. Bila mencari di tempat hiburan, resikonya mungkin dapat wanita yang tidak jelas statusnya atau bahkan justru tidak jadi mencari istri. Sama halnya dengan nahkoda, dengan mengetahui resiko badai dan gelombang tinggi yang dapat mengkaramkan kapal, dapat diputuskan apakah harus mencari jalur pelayaran lain untuk menghindari badai atau menunda perjalanan hingga badai berlalu. Resiko yang terukur secara tepat memungkinkan prosedur dan strategi pengendalian diri dibuat lebih efektif dalam mengeliminasi resiko.

3. Informasi dan Komunikasi (Information and Comunication)
Ketersedian informasi penting untuk menjalankan fungsi pengendalian diri. Bagaimana mungkin kita dapat memilih diantara beberapa pilihan mana yang sesuai dengan tujuan hidup jika kita tidak memiliki ketersediaan informasi yang cukup pada masing-masing pilihan. Informasi tersebut mungkin tidak otomatis tersedia dihadapan kita, tapi harus ada upaya untuk menggali informasi tersebut lebih dalam. Fungsi pengendalian diri menjadi efektif dalam memandu pilihan dan pencapaian hidup ketika tersedia informasi yang relevan pada masing-masing pilihan dan pencapaian. Pilihan atau alternatif manakah yang tidak mengkhianati tujuan hidup? Sebagai contoh ketika kita dihadapkan pada suatu pilihan membeli mobil A atau mobil B. Dengan kecukupan informasi mengenai karakteristik masing-masing mobil, tentu tidak sulit untuk memilih yang sesuai untuk tujuan membeli mobil meskipun hasrat hati lebih cenderung ke salah satunya.
Komunikasi juga terkait dengan informasi, yaitu bagaimana menyampaikan informasi yang dimiliki kepada pihak lain. Dalam konteks pengendalian diri, perlu disadari pentingnya menjalin komunikasi dengan pihak-pihak yang terkait dengan keputusan yang dibuat (stakeholder). Mengambil contoh di atas, apabila telah diputuskan membeli mobil A, maka perlu dikomunikasikan alasannya kepada keluarga agar tidak terjadi perdebatan atau perselisihan yang tidak perlu akibat keputusan tersebut.

4. Aktivitas Pengendalian (Control Activities)
Keberhasilan fungsi pengendalian diri juga ditentukan oleh bagaimana pengendalian diri tersebut dilakukan. Dalam berbagai skala resiko penyimpangan tujuan hidup, tentu aktivitas pengendalian yang diterapkan berbeda-beda. Situasi dengan resiko yang tinggi tentu membutuhkan intensitas atau teknik pengendalian diri yang lebih dibanding dengan situasi dengan resiko rendah. Sebagai contoh katakanlah ada seorang anak memiliki tujuan hidup tidak mau terjerumus pada kenakalan remaja. Jika anak tersebut di sekolahkan di sekolah umum, tentu dia harus mulai membatasi pergaulan dengan teman sekolah, pulang sekolah langsung pulang, fokus belajar, dan sebagainya. Sementara bila disekolahkan di madrasah mungkin dia cukup hanya menfokuskan diri bagaimana belajar dengan baik saja. Hal ini menunjukan perlunya ditentukan teknik dan aktivitas pengendalian diri yang paling sesuai dalam rangka menghadapi berbagai skala resiko penyimpangan tujuan hidup. Dengan aktivitas yang tepat maka fungsi pengendalian diri akan efektif menjaga pencapaian tujuan hidup.

5. Pemantauan (Monitoring)
Komponen ini menekankan pentingnya evaluasi terhadap fungsi pengendalian diri yang telah dijalankan. Apakah pengendalian diri yang dijalankan sudah sesuai dengan yang diharapkan? Apakah pengendalian diri sudah mampu membimbing jalan hidup kita kepada tujuan hidup? Evaluasi ini ditujukan untuk mencari kekurangan dan kelemahan dari fungsi pengendalian diri guna perbaikan di masa yang akan datang. Kesalahan yang ada harus dibetulkan, dan kelemahan yang tampak harus dihilangkan. Apabila komponen ini dapat dilakukan secara kontinyu dari waktu ke waktu maka harapannya fungsi pengendalian diri juga akan semakin baik.


Lima komponen diatas hanyalah sedikit diantara banyak faktor yang mempengaruhi bagaimana pengendalian diri mampu menjaga arah tujuan hidup. Terkadang bahkan faktor tersebut absurd untuk disebutkan. Yang pasti Internal Control adalah keniscayaan demi konsistensi pencapaian tujuan.

Selasa, 15 April 2008

ZIKR PIKR MIKR

Tulisan ini disarikan dari buku manajemen berjudul ZIKR, PIKR, MIKR : The Celestal Management karya A. Riawan Amin. Buku tersebut memberikan pemahaman yang begitu kaya dan luas akan sisi lain manajemen praktis yang diterapkan oleh Bank Muamalat. Konsep ini awalnya adalah sebuah gagasan yang dituangkan dalam bentuk artikel oleh A. Riawan Amin sebagai komponen bangunan dasar Muamalat Spirit. Pada perkembangannya, konsepsi dan pemikiran ZIKR, PIKR dan MIKR terus mengalami pengembangan dan pendalaman untuk dapat diterapkan dalam keseharian operasional Bank Muamalat.
Bila diartikan secara harfiah, dua kata pertama secara epistemologi berasal dari bahasa Arab. ZIKR artinya 'mengingat Allah' dan PIKR artinya 'memberdayakan akal'. Sedangkan MIKR merupakan bentuk metafor dari MIKIR yang dalam bahasa Jawa artinya 'proses untuk terus berfikir'.
Sebagai sebuah konsep, ZIKR merupakan singkatan dari Zero-Base, Iman, Konsisten, dan Result Oriented. Keempat atribut tersebut tali-temali membentuk jalinan proses. Ibarat sebuah pesawat yang akan melakukan penerbangan. Semuanya berawal dari landasan pacu yang besih (Zero Base), bahan bakarnya iman dan adanya konsistensi pilot untuk mengarahkan pesawat ketujuan yang telah ditentukan.
PIKR merupakan singkatan dari Power, Information, Knowledge, dan Reward. Jika konsep ZIKR merupakan penerapan untuk individu agar menjadi pribadi yang unggul, maka PIKR adalah konsep agar pribadi-pribadi yang unggul tadi dapat bersinergi menjadi sebuah tim yang unggul pula.Bagus tidaknya kinerja sebuah tim tidak lagi ditentukan oleh keunggulan masing-masing kru-nya, tetapi oleh kekompokan kru menjalankan fungsi masing-masing.
Konsep terakhir adalah MIKR. Militan, Intelek, Kompetitif dan Regeneratif adalah komponennya. Jika pribadi-pribadi matang yang dibentuk dari konsep ZIKR bertemu dalam sebuah tim yang terlahir dari rahim PIKR, maka inilah yang disebut tim unggulan (the winning Team). Sebagai tim unggulan, tentu mereka juga harus membangun keselarasan dengan tim lain dan lingkungannya. Pada dataran inilah konsep MIKR bermain.
Interaksi ketiga konsep ini secara sederhana dapat dilukiskan sebagai berikut. Sebuah proses untuk mencapai keberhasilan tidak hanya bisa dilandasi oleh akal (PIKR) semata, tetapi juga harus dilandasi oleh hati (ZIKR) agar kemaslahatan seluruh stakeholder dapat tercapai (MIKR).

SEBUAH TETRALOGI

Beberapa waktu yang lalu, saya selesai membaca 3 novel dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata (baru 3 novel yang terbit). Rangkaian novel tersebut mengisahkan perjalanan hidup seorang Andrea Hirata (menyebut dirinya Si Ikal), dimulai saat memasuki Sekolah Dasar hingga menyelesaikan kuliah Strata 2 di Prancis dan Inggris. Awalnya saya berpikir novel ini tidak lain semacam otobiografi yang dikemas dalam bentuk roman yang diselengi humor dan kisah romantis. Namun, baru sampai pada bab pertama saja, untaian kata dan rangkaian kalimat di dalamnya telah mampu merubah pemikiran saya.

Tetralogi Laskar Pelangi telah lama menjadi Best-Seller di Indonesia. Ada keunikan yang membuatnya berbeda dari novel-novel memoar lain. Kekayaan ide yang disampaikan dalam setiap paragraf membuat kita tidak pernah bosan untuk berpindah dari satu paragraf ke paragraf berikutnya. Terus dan terus, hingga rasanya sayang untuk berhenti di tengah jalan. Cerita mengalir sangat lancar dan alamiah, kaya akan pesan moral dan pembangunan jiwa. Kadang kita dibuat tertawa oleh kekonyolan si Ikal dan teman-teman, namun seringpula kita menjadi sedih, miris, dan menangis oleh kondisi dan tekanan hidup yang mereka alami. Begitu banyak hikmah yang dapat dipetik dari kisah perjuangan menggapai cita-cita di tengah segala himpitan dan keterbatasan yang ada. Namun keteguhan hati serta usaha tanpa henti akhirnya memberikan balasan yang manis.

Tetralogi ini dibuat tanpa sengaja. Awalnya Andrea hanya ingin menghadiahkan sebuah memoar untuk Ibu Guru-nya di Sekolah Dasar dulu. Namun, ketika seorang teman kantornya membaca softcopy karya ini di komputernya, kawan ini berpikir bahwa ini akan menjadi novel yang laris apabila diterbitkan. Tanpa seijin Andrea, maka ia kirim softcopy-nya ke penerbit untuk dicetak. Ternyata perkiraannya benar. Satu lagi keajaiban terjadi dalam hidup Andrea. Cita-cita masa kecil yang sudah lama dipendam --menjadi penulis terkenal-- akhirnya terwujud melalui cara yang tidak diduga-duga.

Di tengah minimnya kehadiran karya sastra yang menyejukan, tetralogi ini ibarat oasis di tengah sahara. Tidak sekedar menghibur, novel ini mampu membangun kesadaran pembaca akan arti hidup. Meminjam istilah Andrea, perjalan hidup ibarat mozaik. Penggalan-penggalan nasib yang terjadi seolah tidak berarti atau tidak berhubungan satu sama lain. Namun lama kelaman mozaik-mozaik itu akan membentuk gambaran yang utuh akan hidup kita. Satu mozaik nasib mungkin terlihat buruk, namun ketika terangkai mereka dapat menjadi lukisan yang indah. Sehingga jangan pernah berhenti bermimpi dan menemukan mozaik-mozaik hidup kita.

Powered By Blogger