Minggu, 20 April 2008

Pengendalian Diri

Kehidupan di dunia adalah konsekwensi setiap manusia. Sama halnya dengan kematian. Keduanya adalah pasti dan senantiasa berpasangan bagi setiap manusia. Semua orang pasti mengamini hal ini. Yang sering menjadi pertanyaan dan rangsangan daya nalar manusia adalah tujuan hidup dalam setiap kehidupan. Setiap kepala pasti memiliki gagasan yang berbeda-beda dalam memahami tujuan hidupnya. Seorang materialis umumnya berpandangan betapa hidup ini ditujukan guna memenuhi hasrat dan kebutuhan duniawi semata. Sebaliknya, seorang sufi cenderung memandang hidup ini sebagai suatu masa atau kesempatan untuk mempersiapkan kematian yang merupakan gerbang memasuki alam ukhrawi. Spektrum pandangan di antara dua kutub tujuan hidup ini sangatlah luas. Sebagian besar orang mungkin akan lebih bersikap moderat dengan memilih tujuan hidup di spektrum antara ini. Penulis sendiri menyadari bahwa tujuan hidup layaknya sufi terlalu muluk untuk disebutkan, namun jelas pula penulis bukan pengikut paham materialis. Sehingga cukuplah visi dan misi diatas sebagai tujuan hidup yang senantiasa diupayakan untuk dipegang teguh.
Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, sangat disadari perlunya penerapan fungsi Pengendalian Diri (Internal Control) agar setiap langkah dan aktivitas dalam menjalani hidup selalu terarah pada satu tujuan : tidak mengkhianati visi dan misi yang telah ditetapkan. Mengapa perlu pengendaliaan diri? Layaknya perahu yang berlayar tanpa navigasi, mustahil dapat mencapai tujuan ketika terjangan badai dan gelombang sangat berpotensi membelokan dan mengacaukan arah perahu dari tujuan. Pengendalian diri adalah sistim navigasi yang akan mengarahkan hidup kita agar tidak menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan. Kemungkinan menyimpang tentu saja ada karena kita hidup tidak sendiri, banyak pengaruh dan hambatan dari luar diri. Kalaupun terlanjur menyimpang, maka sistem ini akan mengembalikan kita ke arah yang seharusnya. Sehingga meskipun kadangkala atau bahkan sering keluar jalur, namun secara konsisten sistem ini akan mengembalikan kita ke tujuan hidup semula.
Meminjam konsep dalam teori Auditing, disebutkan 5 komponen penting yang harus ada agar fungsi Internal Control dapat berperan dalam menjaga konsistensi dan keberlanjutan pencapaian tujuan hidup. Lima komponen Internal Control dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Lingkungan Pengendalian (Control Environment)
Lingkungan pengendalian adalah fondasi bagi 4 komponen lain berpijak. Lingkungan pengendalian dapat dianalogikan sebagai komitmen pribadi yang berisi kesadaran akan pentingnya pengendalian diri demi mencapai tujuan. Kesadaran ini sama halnya dengan kesadaran yang dimiliki pelaut akan pentingnya sistem navigasi di perahunya. Derajat kesadaran tentu berbeda antara satu orang dengan orang lain. Tinggi rendahnya sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut oleh yang bersangkutan. Nilai tersebut merupakan refleksi dari kematangan dan kecerdasan emosional individu. Nilai yang mempengaruhi antara lain prinsip etika/moral, filosofi dan tujuan hidup, serta kemampuan menarik pelajaran dari kesalahan. Semakin teguh prinsip etika/moral dipegang maka semakin kuat komitmen pribadi melakukan pengendalian diri. Semakin jelas filosofi dan tujuan hidup, semakin kuat pula kesadaran untuk mengendalikan diri. Semakin dalam kemampuan mencari hikmah maka semakin sadar pula akan pentingnya pengendalian diri.

2. Pengukuran Resiko (Risk Assessment)
Fungsi pengendalian diri dapat berjalan efektif apabila kita mengetahui resiko-resiko yang akan dihadapi dalam rangka mencapai tujuan hidup. Resiko ini berupa hambatan atau rintangan yang dapat membelokan atau mematahkan arah tujuan. Dengan mengidentifikasi dan mengukur resiko, maka dapat dirumuskan strategi atau prosedur pengendalian yang paling cocok untuk mengeliminasi hambatan atau rintangan yang membuat tujuan hidup menyimpang. Misalnya, jika ingin mencari istri yang sholehah maka jangan mencari di tempat hiburan. Bila mencari di tempat hiburan, resikonya mungkin dapat wanita yang tidak jelas statusnya atau bahkan justru tidak jadi mencari istri. Sama halnya dengan nahkoda, dengan mengetahui resiko badai dan gelombang tinggi yang dapat mengkaramkan kapal, dapat diputuskan apakah harus mencari jalur pelayaran lain untuk menghindari badai atau menunda perjalanan hingga badai berlalu. Resiko yang terukur secara tepat memungkinkan prosedur dan strategi pengendalian diri dibuat lebih efektif dalam mengeliminasi resiko.

3. Informasi dan Komunikasi (Information and Comunication)
Ketersedian informasi penting untuk menjalankan fungsi pengendalian diri. Bagaimana mungkin kita dapat memilih diantara beberapa pilihan mana yang sesuai dengan tujuan hidup jika kita tidak memiliki ketersediaan informasi yang cukup pada masing-masing pilihan. Informasi tersebut mungkin tidak otomatis tersedia dihadapan kita, tapi harus ada upaya untuk menggali informasi tersebut lebih dalam. Fungsi pengendalian diri menjadi efektif dalam memandu pilihan dan pencapaian hidup ketika tersedia informasi yang relevan pada masing-masing pilihan dan pencapaian. Pilihan atau alternatif manakah yang tidak mengkhianati tujuan hidup? Sebagai contoh ketika kita dihadapkan pada suatu pilihan membeli mobil A atau mobil B. Dengan kecukupan informasi mengenai karakteristik masing-masing mobil, tentu tidak sulit untuk memilih yang sesuai untuk tujuan membeli mobil meskipun hasrat hati lebih cenderung ke salah satunya.
Komunikasi juga terkait dengan informasi, yaitu bagaimana menyampaikan informasi yang dimiliki kepada pihak lain. Dalam konteks pengendalian diri, perlu disadari pentingnya menjalin komunikasi dengan pihak-pihak yang terkait dengan keputusan yang dibuat (stakeholder). Mengambil contoh di atas, apabila telah diputuskan membeli mobil A, maka perlu dikomunikasikan alasannya kepada keluarga agar tidak terjadi perdebatan atau perselisihan yang tidak perlu akibat keputusan tersebut.

4. Aktivitas Pengendalian (Control Activities)
Keberhasilan fungsi pengendalian diri juga ditentukan oleh bagaimana pengendalian diri tersebut dilakukan. Dalam berbagai skala resiko penyimpangan tujuan hidup, tentu aktivitas pengendalian yang diterapkan berbeda-beda. Situasi dengan resiko yang tinggi tentu membutuhkan intensitas atau teknik pengendalian diri yang lebih dibanding dengan situasi dengan resiko rendah. Sebagai contoh katakanlah ada seorang anak memiliki tujuan hidup tidak mau terjerumus pada kenakalan remaja. Jika anak tersebut di sekolahkan di sekolah umum, tentu dia harus mulai membatasi pergaulan dengan teman sekolah, pulang sekolah langsung pulang, fokus belajar, dan sebagainya. Sementara bila disekolahkan di madrasah mungkin dia cukup hanya menfokuskan diri bagaimana belajar dengan baik saja. Hal ini menunjukan perlunya ditentukan teknik dan aktivitas pengendalian diri yang paling sesuai dalam rangka menghadapi berbagai skala resiko penyimpangan tujuan hidup. Dengan aktivitas yang tepat maka fungsi pengendalian diri akan efektif menjaga pencapaian tujuan hidup.

5. Pemantauan (Monitoring)
Komponen ini menekankan pentingnya evaluasi terhadap fungsi pengendalian diri yang telah dijalankan. Apakah pengendalian diri yang dijalankan sudah sesuai dengan yang diharapkan? Apakah pengendalian diri sudah mampu membimbing jalan hidup kita kepada tujuan hidup? Evaluasi ini ditujukan untuk mencari kekurangan dan kelemahan dari fungsi pengendalian diri guna perbaikan di masa yang akan datang. Kesalahan yang ada harus dibetulkan, dan kelemahan yang tampak harus dihilangkan. Apabila komponen ini dapat dilakukan secara kontinyu dari waktu ke waktu maka harapannya fungsi pengendalian diri juga akan semakin baik.


Lima komponen diatas hanyalah sedikit diantara banyak faktor yang mempengaruhi bagaimana pengendalian diri mampu menjaga arah tujuan hidup. Terkadang bahkan faktor tersebut absurd untuk disebutkan. Yang pasti Internal Control adalah keniscayaan demi konsistensi pencapaian tujuan.

Selasa, 15 April 2008

ZIKR PIKR MIKR

Tulisan ini disarikan dari buku manajemen berjudul ZIKR, PIKR, MIKR : The Celestal Management karya A. Riawan Amin. Buku tersebut memberikan pemahaman yang begitu kaya dan luas akan sisi lain manajemen praktis yang diterapkan oleh Bank Muamalat. Konsep ini awalnya adalah sebuah gagasan yang dituangkan dalam bentuk artikel oleh A. Riawan Amin sebagai komponen bangunan dasar Muamalat Spirit. Pada perkembangannya, konsepsi dan pemikiran ZIKR, PIKR dan MIKR terus mengalami pengembangan dan pendalaman untuk dapat diterapkan dalam keseharian operasional Bank Muamalat.
Bila diartikan secara harfiah, dua kata pertama secara epistemologi berasal dari bahasa Arab. ZIKR artinya 'mengingat Allah' dan PIKR artinya 'memberdayakan akal'. Sedangkan MIKR merupakan bentuk metafor dari MIKIR yang dalam bahasa Jawa artinya 'proses untuk terus berfikir'.
Sebagai sebuah konsep, ZIKR merupakan singkatan dari Zero-Base, Iman, Konsisten, dan Result Oriented. Keempat atribut tersebut tali-temali membentuk jalinan proses. Ibarat sebuah pesawat yang akan melakukan penerbangan. Semuanya berawal dari landasan pacu yang besih (Zero Base), bahan bakarnya iman dan adanya konsistensi pilot untuk mengarahkan pesawat ketujuan yang telah ditentukan.
PIKR merupakan singkatan dari Power, Information, Knowledge, dan Reward. Jika konsep ZIKR merupakan penerapan untuk individu agar menjadi pribadi yang unggul, maka PIKR adalah konsep agar pribadi-pribadi yang unggul tadi dapat bersinergi menjadi sebuah tim yang unggul pula.Bagus tidaknya kinerja sebuah tim tidak lagi ditentukan oleh keunggulan masing-masing kru-nya, tetapi oleh kekompokan kru menjalankan fungsi masing-masing.
Konsep terakhir adalah MIKR. Militan, Intelek, Kompetitif dan Regeneratif adalah komponennya. Jika pribadi-pribadi matang yang dibentuk dari konsep ZIKR bertemu dalam sebuah tim yang terlahir dari rahim PIKR, maka inilah yang disebut tim unggulan (the winning Team). Sebagai tim unggulan, tentu mereka juga harus membangun keselarasan dengan tim lain dan lingkungannya. Pada dataran inilah konsep MIKR bermain.
Interaksi ketiga konsep ini secara sederhana dapat dilukiskan sebagai berikut. Sebuah proses untuk mencapai keberhasilan tidak hanya bisa dilandasi oleh akal (PIKR) semata, tetapi juga harus dilandasi oleh hati (ZIKR) agar kemaslahatan seluruh stakeholder dapat tercapai (MIKR).

SEBUAH TETRALOGI

Beberapa waktu yang lalu, saya selesai membaca 3 novel dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata (baru 3 novel yang terbit). Rangkaian novel tersebut mengisahkan perjalanan hidup seorang Andrea Hirata (menyebut dirinya Si Ikal), dimulai saat memasuki Sekolah Dasar hingga menyelesaikan kuliah Strata 2 di Prancis dan Inggris. Awalnya saya berpikir novel ini tidak lain semacam otobiografi yang dikemas dalam bentuk roman yang diselengi humor dan kisah romantis. Namun, baru sampai pada bab pertama saja, untaian kata dan rangkaian kalimat di dalamnya telah mampu merubah pemikiran saya.

Tetralogi Laskar Pelangi telah lama menjadi Best-Seller di Indonesia. Ada keunikan yang membuatnya berbeda dari novel-novel memoar lain. Kekayaan ide yang disampaikan dalam setiap paragraf membuat kita tidak pernah bosan untuk berpindah dari satu paragraf ke paragraf berikutnya. Terus dan terus, hingga rasanya sayang untuk berhenti di tengah jalan. Cerita mengalir sangat lancar dan alamiah, kaya akan pesan moral dan pembangunan jiwa. Kadang kita dibuat tertawa oleh kekonyolan si Ikal dan teman-teman, namun seringpula kita menjadi sedih, miris, dan menangis oleh kondisi dan tekanan hidup yang mereka alami. Begitu banyak hikmah yang dapat dipetik dari kisah perjuangan menggapai cita-cita di tengah segala himpitan dan keterbatasan yang ada. Namun keteguhan hati serta usaha tanpa henti akhirnya memberikan balasan yang manis.

Tetralogi ini dibuat tanpa sengaja. Awalnya Andrea hanya ingin menghadiahkan sebuah memoar untuk Ibu Guru-nya di Sekolah Dasar dulu. Namun, ketika seorang teman kantornya membaca softcopy karya ini di komputernya, kawan ini berpikir bahwa ini akan menjadi novel yang laris apabila diterbitkan. Tanpa seijin Andrea, maka ia kirim softcopy-nya ke penerbit untuk dicetak. Ternyata perkiraannya benar. Satu lagi keajaiban terjadi dalam hidup Andrea. Cita-cita masa kecil yang sudah lama dipendam --menjadi penulis terkenal-- akhirnya terwujud melalui cara yang tidak diduga-duga.

Di tengah minimnya kehadiran karya sastra yang menyejukan, tetralogi ini ibarat oasis di tengah sahara. Tidak sekedar menghibur, novel ini mampu membangun kesadaran pembaca akan arti hidup. Meminjam istilah Andrea, perjalan hidup ibarat mozaik. Penggalan-penggalan nasib yang terjadi seolah tidak berarti atau tidak berhubungan satu sama lain. Namun lama kelaman mozaik-mozaik itu akan membentuk gambaran yang utuh akan hidup kita. Satu mozaik nasib mungkin terlihat buruk, namun ketika terangkai mereka dapat menjadi lukisan yang indah. Sehingga jangan pernah berhenti bermimpi dan menemukan mozaik-mozaik hidup kita.

Powered By Blogger