Selasa, 15 April 2008

SEBUAH TETRALOGI

Beberapa waktu yang lalu, saya selesai membaca 3 novel dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata (baru 3 novel yang terbit). Rangkaian novel tersebut mengisahkan perjalanan hidup seorang Andrea Hirata (menyebut dirinya Si Ikal), dimulai saat memasuki Sekolah Dasar hingga menyelesaikan kuliah Strata 2 di Prancis dan Inggris. Awalnya saya berpikir novel ini tidak lain semacam otobiografi yang dikemas dalam bentuk roman yang diselengi humor dan kisah romantis. Namun, baru sampai pada bab pertama saja, untaian kata dan rangkaian kalimat di dalamnya telah mampu merubah pemikiran saya.

Tetralogi Laskar Pelangi telah lama menjadi Best-Seller di Indonesia. Ada keunikan yang membuatnya berbeda dari novel-novel memoar lain. Kekayaan ide yang disampaikan dalam setiap paragraf membuat kita tidak pernah bosan untuk berpindah dari satu paragraf ke paragraf berikutnya. Terus dan terus, hingga rasanya sayang untuk berhenti di tengah jalan. Cerita mengalir sangat lancar dan alamiah, kaya akan pesan moral dan pembangunan jiwa. Kadang kita dibuat tertawa oleh kekonyolan si Ikal dan teman-teman, namun seringpula kita menjadi sedih, miris, dan menangis oleh kondisi dan tekanan hidup yang mereka alami. Begitu banyak hikmah yang dapat dipetik dari kisah perjuangan menggapai cita-cita di tengah segala himpitan dan keterbatasan yang ada. Namun keteguhan hati serta usaha tanpa henti akhirnya memberikan balasan yang manis.

Tetralogi ini dibuat tanpa sengaja. Awalnya Andrea hanya ingin menghadiahkan sebuah memoar untuk Ibu Guru-nya di Sekolah Dasar dulu. Namun, ketika seorang teman kantornya membaca softcopy karya ini di komputernya, kawan ini berpikir bahwa ini akan menjadi novel yang laris apabila diterbitkan. Tanpa seijin Andrea, maka ia kirim softcopy-nya ke penerbit untuk dicetak. Ternyata perkiraannya benar. Satu lagi keajaiban terjadi dalam hidup Andrea. Cita-cita masa kecil yang sudah lama dipendam --menjadi penulis terkenal-- akhirnya terwujud melalui cara yang tidak diduga-duga.

Di tengah minimnya kehadiran karya sastra yang menyejukan, tetralogi ini ibarat oasis di tengah sahara. Tidak sekedar menghibur, novel ini mampu membangun kesadaran pembaca akan arti hidup. Meminjam istilah Andrea, perjalan hidup ibarat mozaik. Penggalan-penggalan nasib yang terjadi seolah tidak berarti atau tidak berhubungan satu sama lain. Namun lama kelaman mozaik-mozaik itu akan membentuk gambaran yang utuh akan hidup kita. Satu mozaik nasib mungkin terlihat buruk, namun ketika terangkai mereka dapat menjadi lukisan yang indah. Sehingga jangan pernah berhenti bermimpi dan menemukan mozaik-mozaik hidup kita.

Tidak ada komentar:

Powered By Blogger